Sabtu, 28 November 2015

bronkiolitis dan penanganan fisioterapi





Penyusun :
Sovia Oktaviani                   (056)
Viona Nuriska                      (084)
Zuhrya Eka Nurvitha         (086)
Iskarul Babdillah                 (091)


PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015-2016

BAB I

 

PENDAHULUAN


Latar Belakang

Bronkiolitis adalah infeksi saluran pernafasan bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Sering mengenai anak usia dibawah satu tahun dengan insiden tertinggi umur 6 bulan. Bronkiolitis akut yang terjadi dibawah umur satu tahun kira-kira 12 % dari seluruh kasus, sedangkan pada tahun kedua lebih jarang lagi, yaitu sekitar setengahnya. Penyakit ini menimbulkan morbiditas infeksi saluran pernafasan bawah terbanyak pada anak. Penyebab yang paling banyak adalah virus Respiratory  Syncytial, kira-kira 45 – 55 % dari total kasus. Sedangkan virus lain seperti Parainfluenza, Adenovirus dan Mikoplasma. Adenovirus dapat berhubungan dengan terjadinya penyakit-penyakit jangka panjang seperti bronkiolitis obliterans dan sindroma paru-paru unilateral hiperlusensi (sindroma swyer-james). Tidak terdapat bukti jelas bahwa keadaan ini disebabkan oleh suatu bakteri. Kadang-kadang suatu bronkopneumonia bakteri dapat dikacaukan secara klinis dengan bronkiolitis.
Infeksi oleh respiratory syncitial virus (RSV) memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama pada anak dengan resiko tinggi dan imunokompromise. Oleh karena itu langkah preventif dilakukan dengan pemberian imunisasi aktif dan pasif. Saat ini juga sedang dikembangkan vaksin virus. Usaha untuk mengembangkan vaksin virus hidup yang dilemahkan (attenuated live viral vaccines) mengalami hambatan karena imunogenositas yang rendah dan kecenderungan virus untuk berubah kembali menjadi tipe liar.
Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 ke dalam tubuh, serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Sistem pernafasan memiliki sistem pertahanan tersendiri dalam melawan setiap bahan yang masuk yang dapat merusak. Di dalam makalah ini, penulis akan membahas gangguan pada bronkiolus yang disebabkan oleh Infeksi respiratory syncitial virus (RSV) yang sering disebut dengan “Bronchiolitis.

 Tujuan

1.      Untuk mengetahui etiologi, prevalensi, definisi, faktor resiko, patofisiologi, patofisiologi klinis & gejala, komplikasi, dan penatalaksanaan medis & Fisioterapi dari penyakit bronkiolitis
2.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Patologi Kardiopulmonal







 

BAB II

 

PEMBAHASAN


Etiologi

Bronkiolitis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh serangan virus. Pada lebih dari 50% kasus-kasus yang ditemukan, didapatkan bahwa organisme penyebabnya adalah virus sinsitial pernapasan, seperti virus parainfluenza, mikoplasma, dan adenovirus. Kebanyakan kasus bronchiolitis masa kanak-kanak disebabkan oleh respiratory syncytial virus (RSV). Selain itu, juga dapat disebabkan oleh agen infeksi lainnya, termasuk virus yang menyebabkan flu biasa. Beberapa infeksi, seperti kombinasi RSV dan metapneumovirus dapat menyebabkan kasus yang parah bronchiolitis. Tidak ada vaksin untuk bronchiolitis, yang merupakan kondisi yang menular. Virus ini menular dengan cara yang sama seperti tertular pilek atau flu. Yaitu dengan menyentuh benda yang terkontaminasi dan kemudian menyentuh mata mereka atau bagian dalam hidung mereka atau mulut, atau menghirup udara tetesan lendir yang terinfeksi atau sekresi pernapasan lainnya. Anak-anak yang berusia lebih tua dan orang-orang dewasa lebih tahan terhadap edema bronkiolus dari pada bayi-bayi, sehingga mereka luput memperlihatkan gambaran klinis suatu bronkiolitis walaupun sebenarnya saluran-saluran napas kecil-kecil mereka mengalami infeksi virus.

Prevalensi

Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.
Meskipun bronchiolitis terjadi sepanjang tahun, namun lebih sering terjadi pada musim dingin. Insiden puncak terjadi pada bulan Februari. Bronchiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan. Kondisi ini lebih sering terjadi pada bayi yang diberi minum botol dan pada anak-anak yang tinggal di daerah ramai, daerah perkotaan. Beberapa studi menunjukkan bahwa status sosial ekonomi rendah juga berpengaruh dan anak-anak dalam kelompok ini dirawat di rumah sakit lebih sering.  Di seluruh dunia, tingkat infeksi di negara maju adalah serupa dengan yang di Amerika Serikat. Saat ini, tidak ada cukup data untuk menentukan bronchiolitis dinegara-negara terbelakang, namun studi menunjukkan bahwa gizi buruk dan perawatan medis sub-standar dapat menyebabkan kondisi di daerah-daerah. Di daerah tropis, bronkiolitis  lebih sering terjadi selama musim hujan.

Definisi

Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus) yang terjadi pada anak < 2 tahun dengan insidens tertinggi pada usia sekitar 2-6 bulan dengan penyebab tersering respiratory sincytial virus (RSV), diikuti dengan parainfluenzae, dan adenovirus. Penyakit ditandai oleh sindrom klinik yaitu, napas cepat, retraksi dada, dan wheezing.
Penyebabnya adalah RSV (respiratory syncytial virus). Virus lainnya yang menyebabkan bronkiolitis adalah parainfluenza, mikoplasma, dan adenovirus. Virus ditularkan melalui percikan ludah. Meskipun pada orang dewasa RSV hanya menyebabkan gejala yang ringan, tetapi pada bayi bisa menyebabkan penyakit yang berat.

Faktor resiko

a.    Bayi berusia kurang dari 6 bulan.
b.    Anak-anak yang terlahir premature.
c.    Anak yang tidak memperoleh ASI
d.   Anak-anak yang memiliki kondisi kesehatan kurang baik terutama mereka yang mengidap penyakit jantung atau paru-paru bawaan.
e.    Anak-anak yang sistem kekebalan tubuhnya rendah, seperti sedang menjalani kemoterapi, transplantasi, atau karena penyakit.
f.     Anak-anak yang dititipkan di tempat penitipan atau memiliki saudara kandung yang sudah bersekolah akan memiliki resiko lebih tinggi tertular infeksi ini.
g.    Balita yang berada pada lingkungan yang berisiko tinggi untuk terpapar pada polusi udara dan asap rokok.
h.    Kerentanan juga akan meningkat saat musim RSV tertinggi, yang biasanya dimulai pada musim gugur dan berakhir di musim semi.
i.      Orang-orang dewasa berusia lanjut.
j.      Orang dewasa pengidap gagal jantung.






Patofisiologi Penyakit/Patogenesis

Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, subsfance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhimya kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi lntercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas.
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunf. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat tiga, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkathampir 2 kali di atas normal.
Proses patologis yang terjadi akan mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru-paru. Ventilasi yang semakin menurun pada alveolus-alveolus akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia dini pada perjalanan penyakit. Retensi karbon dioksida (hiperkapnia) biasanya tidak terjadi kecuali pada penderita-penderita yang terserang hebat. Pada umumnya, semakin tinggi kecepatan pernapasan, maka semakin rendah tekanan oksigen arteri. Hiperkapnia biasanya tidak dijumpai hingga kecepatan pernapasan melebihi 60 x / menit yang kemudian meningkat sesuai dengan takipne yang terjadi.
 Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. lnfeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi 'cumulatif immunity' sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.

Patofisiologi Klinis dan Gejala

Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit bronkiolitis mempunyai riwayat keberadaan mereka dibawah pengaruh anak-anak yang lebih besar atau orang-orang dewasa yang menderita penyakit saluran pernapasan ringan pada minggu sebelum penyakit tersebut terjadi pada mereka. Pertama kali dapat dicatat bahwa bayi tersebut menderita suatu infeksi ringan yang mengenai saluran pernapasan bagian atas disertai pengeluaran secret encer dari hidung dan bersin-bersin. Gejala-gejala ini akan berlangsung selama beberapa hari dan disertai demam 38,50 hingga 390C (101-1020F) dan nafsu makan yang berkurang. Kemudian akan ditemukan kesukaran pernapasan yang akan berkembang berangsur-angsur dan ditandai oleh batuk-batuk, bersin paroksismal, dispne, dan iritabilitas.
Pemberian makanan dan minuman dengan botol akan mengalami kesulitan karena kecepatan pernapasan yang tinggi tidak memungkinkan penderita tersebut menghisab dan menelan. Pada kasus-kasus ringan, gejala-gejala akan menghilang dalam waktu 1-3 hari. Kadang-kadang, pada penderita-penderita yang terserang lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang hanya dalam beberapa jam serta perjalanan penyakitnya berlangsung berkepanjangan. Gejala-gejala sistematis lain seperti muntah-muntah dan diare biasanya tidak didapatkan pada para penderita. Pada umumnya bayi tersebut tidak demam atau mengalami demam ringan saja atau bahkan dapat menjadi hipotermis.
Pemeriksaan akan memperlihatkan seorang bayi seringkali dalam kesulitan luar biasa. Kecepatan pernapasan berkisar dari 60-80 kali/menit. Dapat dijumpai kehausan udara dan sianosis berat. Terdapat pelebaran cuping hidung dan penggunaan otot-otot pembantu pernapasan yang mengakibatkan terjadinya retraksi-retraksi interkostal dan daerah sub-kostal. Retraksi-retraksi tersebut hanya berlangsung dangkal akibat dari pengembangan paru terus-menerus oleh udara yang terperangkap. Hati dan limpa dapat teraba beberapa cm dibawah tepi batas bawah tulang iga. Keadaan ini terjadi akibat dari penurunan diafragma yang tertekan kebawah oleh paru-paru yang terisi secara berlebihan. Suara-suara riak halus yang tersebar luas dapat tedengar pada bagian akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Fase ekspirasi pernapasan akan memanjang dan suara pernapasan akan berbunyi dan biasanya akan terdengar. Pada kasus-kasus berat, suara-suara pernapasan hampir-hampir tidak terdengar, jika obstruksi bronkiolus tersebut hampir total.
Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas, disertai dengan batuk pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu. Anak mulai mengalami sesak napas, makin lama makin hebat, pernapasan dangkal dan cepat dan disertai dengan serangan batuk. Terlihat juga pernapasan cuping hidung disertai retraksi interkostal suprasternal, anak gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan terdapat suara perkusi hipersonor, ekspirium memanjang disertai dengan mengi (‘wheezing’).
Ronki nyaring halus kadang-kadang terdengar pada akhir ekspirasi atau pada permulaan ekspirasi. Pada keadaan yang berat sekali, suara pernapasan hampir tidak terdengar karena kemungkinan obstruksi hampir total. Foto roentgen toraks menunkjukkan paru-paru dalam keadaan hipererasi dan diameter antero-posterior membesar pada foto lateral. Pada sepertiga dari penderita ditemukan bercak-bercak konsolidasi tersebar disebabkan atelektasis atau radang. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi dalam batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun metabolik. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.
Tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi RSV biasanya kelihatan pada empat hingga enam hari setelah terjadi paparan terhadap infeksi virus. Pada orang dewasa dan anak-anak yang berusia lebih dari 3 tahun, RSV biasanya menyebabkan terjadinya tanda-tanda seperti selesma ringan dan gejala yang mirip dengan gejala yang ada pada infeksi saluran pernapasan atas. Tanda-tanda ini adalah :
·         Hidung mampet atau berlendir
·         Batuk kering
·         Demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi
·         Sakit leher
·         Sakit kepala ringan
·         Rasa tidak nyaman dan gelisah (malaise)
Pada anak-anak berusia kurang lebih dari 3 tahun, RSV dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada saluran pernapasan bagian bawah seperti radang paru atau bronchiolitis-peradangan pada saluran udara yang kecil-kecil pada paru-paru. Gejala dan tanda-tandanya adalah :
·         Demam dengan suhu tinggi
·         Batuk yang parah
·         Tersengal-sengal, ada suara ngik yang biasanya terdengar saat menghembuskan napas
·         Napasnya cepat atau sulit untuk bernapas, yang mungkin akan menyebabkan anak lebih memilih untuk duduk daripada berbaring
·         Warna kebiruan pada kulit yang disebabkan oleh kekurangan oksigen
Akibat paling parah akibat infeksi RSV akan diderita oleh bayi dan balita. Pada bayi dan balita yang menderita infeksi RSV, tanda-tandanya akan terlihat jelas saat mereka menarik otot dada dan kulit di sekitar tulang iga, yang menandakan bahwa mereka mengalami kesulitan bernapas, dan napas mereka mungkin pendek, dangkal dan cepat. Atau mereka mungkin tidak menunjukkan adanya infeksi saluran napas, tapi mereka tidak mau makan dan biasanya lemas dan rewel.
Kebanyakan anak-anak dan orang dewasa akan membaik dalam delapan hingga 15 hari. Tapi pada bayi-bayi yang usianya masih sangat muda, bayi yang terlahir premature, atau bayi atau orang dewasa yang memiliki masalah pada jantung dan paru-paru , virus ini akan menyebabkan infeksi lebih berat, seringkali mengancam keselamatan jiwa yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Diagnosis banding dari penyakit bronkiolitis sebagai berikut:
a.       Asma Bronkiale, penyakit ini merupaka diagnosis banding yang terpenting. 10-30% penderita bronkiolitis akhirnya menjadi asma.
b.      Penyakit Asma Bronchial, penyakit ini jarang dialami oleh anak usia < 1 thn. Didapatkan riwayat alergi dalam keluarga. Serangan berulang-ulang dan timbul sesak mendadak mungkin tanpa dilalui ISPA. Dapat membaik dengan suntikan adrenalin.
c.       Limfositosis, leukosit kira-kira 2 minggu sakit dan jantungnya mengalami kelemahan.
d.      Sukar dibedakan dengan bronkiolitis yang berat.

Komplikasi

Ada beberapa komplikasi bronchitis yang berpotensi dijumpai pada pasien, antara lain :
a.         Sianosis, tampak biru atau pucat terutama pada bibir yang disebabkan oleh kekurangan oksigen
b.        Dehidrasi, ketika kadar air normal tubuh berkurang
c.         Kelelahan, kelelahan ekstrim dan kekurangan energi
d.        Kegagalan pernafasan yang parah, ketidakmampuan untuk bernapas tanpa bantuan.
e.         Apnea, jedah panjang dalam bernapas

Penatalaksanaan medis dan Fisioterapi

Bayi-bayi dengan kesukaran pernapasan harus dirawat dirumah sakit tetapi hanya pengobatan penunjang yang memiliki indikasi yang diberikan. Menempatkan penderita didalam ruangan mengandung oksigen dingin yang dilembabkan merupakan tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi hipoksemia dan mengurangi kehilangan air insensibilitas. Tindakan demikian juga dapat meredakan kecemasan serta kegelisahan penderita. Harus dihindarkan pemberian obat-obatan sedative karena kemampuan penekanan pernapasan yang dimilki. Jika obat sedative harus diberikan, lebih baik mempergunakan perildehida atau kloralhidrat. Bayi-bayi tersebut akan merasa lesbih nyaman untuk duduk dengan posisi kemiringan 30-400 atau dengan kepala dan dada yang sedikit ditinggikan sedemikian rupa sehingga lehernya berada pada posisi ekstensi.
Karena bronkiolitis akut merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus, maka antibiotika-antibiotika tidak mempunyai nilai terapetis pada penyakit ini kecuali jika pada penderita terdapat pneumonia bakteri sekunder. Pemberian kartikosteroid tidak terbukti tidak bermanfaat pada bronkiolitis bahkan pada keadaan-keadaan tertentu membahayakan penderita. Sebaliknya, pemberian kartikosteroid pada penderita-penderita bronkiolitis adenovirus berat dimana akibat-akibat sisa jangka panjang lebih mungkin terajadi, belum pernah dilakukan penilaian tentang hasil pemberian tersebut. Terdapat kontra indikasi pemberian obat-obat bronkodilator karena akan menyebabkan peningkatan kegelisahan dan curah jantung. Epinefrin atau obat-obat alfa-adrenergik lainnya, walaupun mempunyai landasan teoritis untuk digunakan,belum pernah diuji secara memadai. Karena obstruksi yang terjadi pada tingkat bronkiolus, maka suatu trakeostami tidak akan bermanfaat dan mengandung bahaya yang cukup besar yang tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan pada bayi-bayi yang sakit akut. Kadang-kadang terdapat penderita yang dengan cepat yang dapat berkembang menuju kegagalan pernapasan sehingga membutuhkan bantuan ventilasi.
Pada tindakan perawatan yang penting ialah mengontrol batuk dan mengeluarkan lendir. Caranya yaitu dengan cara berjemur dipagi hari, sering mengubah posisi, banyak minum, dan terapi inhalasi (Nebulizer). Untuk mempertahankan daya tahan tubuh, setelah anak muntah dan tenang perlu diberikan minum susu dan makanan lain.
Nebulisasi merupakan bagian dari terapi inhalasi, terapi ini memberikan obat secara langsung pada saluran nafas melalui hirupan uap. Tindakan ini aman karena bekerja langsung pada target yang dituju yaitu saluran nafas. Cara kerja obat tersebut cepat dengan dosis minimal sehingga konsentrasi obat dalam darah sedikit dan tentunya efek samping oba tpun menjadi minimal. Pemilihan terapi ini tentunya sesuai indikasi dan keberhasilannya dipengaruhi oleh pemilihan jenis obat dan teknik pemberiannya. Nebulizer lebih sering dipilih untuk anak usia pra sekolah karena tidak memerlukan banyak koordinasi.



  

BAB III

 

PENUTUP


Kesimpulan


      Bronkiolitis adalah infeksi saluran pernafasan bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Penyakit ini sering di derita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun. Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory syncytial virus (RSV), penyebab lainnya adalah parainfluenza virus, Eaton agent (mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan beberapa virus lainnya. tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis disebabkan oleh bakteri. Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi. Paling sering terjadi pada usia 2 – 24 bulan, puncaknya pada usia 2 – 8 bulan. Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.
Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu.
Pada tindakan perawatan yang penting ialah mengontrol batuk dan mengeluarkan lendir. Caranya yaitu dengan cara berjemur dipagi hari, sering mengubah posisi, banyak minum, dan terapi inhalasi (Nebulizer). Untuk mempertahankan daya tahan tubuh, setelah anak muntah dan tenang perlu diberikan minum susu dan makanan lain.

Saran

             Karena dalam pembuatan makalah ini masih memiliki banyak kekurangan maka kami mengharapkan banyak kritik dan saran.






DAFTAR PUSTAKA
Speer,Kathleen Morgan.2002.Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan Clinical Pathway Ed.3. Jakarta : EGC
Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Denpasar : RSUP Sanglah Denpasar
Tarwoto & Wartonah.2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Makalah Referat Kedokteran. 2006.Referat Bronchiolitis. Department of Pediatric Medical Faculty. Bandung
Behrman,Richard E. & Vaughan Victor C.1992.Ilmu Kesehatan Anak Ed.12.Jakarta : EGC
Setiawati,Landia & Asih,Retno.2005.Ilmu Kesehatan Anak XXXV Tata Laksana Bronkiolitis.Surabaya
Tierney,Lawrence M. & Mcphee,Stephen J. & Papadakis,Maxine A, 2002.Diagnosis dan Terapi Kedokteran Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta : Salemba Medika
Underwood,J.C.E.1999.Patologi Umum dan Sistematik Ed 2.Jakarta : EGC
Chang,Esther & Daly,Jhon & Elliott,Doug.2009.Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan.Jakarta : EGC
Dokter Andrie. (2012). “Bronkiolitis.” dokterandrie.blogspot.com/2012/02/bronkiolitis.html (diakses tanggal 19 September 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar