Penyusun :
Sovia
Oktaviani (056)
Viona Nuriska (084)
Zuhrya Eka Nurvitha (086)
Iskarul Babdillah (091)
PROGRAM STUDI FISIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2015-2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bronkiolitis adalah infeksi saluran pernafasan bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus. Sering mengenai
anak usia dibawah satu tahun dengan insiden tertinggi umur 6 bulan. Bronkiolitis akut yang terjadi dibawah umur satu
tahun kira-kira 12 % dari seluruh kasus, sedangkan pada tahun kedua lebih
jarang lagi, yaitu sekitar setengahnya. Penyakit ini menimbulkan morbiditas
infeksi saluran pernafasan bawah terbanyak pada anak. Penyebab yang paling
banyak adalah virus Respiratory Syncytial, kira-kira 45 – 55 % dari total
kasus. Sedangkan virus lain seperti Parainfluenza, Adenovirus dan Mikoplasma. Adenovirus
dapat berhubungan dengan terjadinya penyakit-penyakit jangka panjang seperti
bronkiolitis obliterans dan sindroma paru-paru unilateral hiperlusensi
(sindroma swyer-james). Tidak terdapat bukti jelas bahwa keadaan ini disebabkan
oleh suatu bakteri. Kadang-kadang suatu bronkopneumonia bakteri dapat
dikacaukan secara klinis dengan bronkiolitis.
Infeksi oleh respiratory syncitial virus (RSV) memiliki morbiditas dan
mortalitas yang tinggi terutama pada anak dengan resiko tinggi dan
imunokompromise. Oleh karena itu langkah preventif dilakukan dengan pemberian
imunisasi aktif dan pasif. Saat ini juga sedang dikembangkan vaksin virus.
Usaha untuk mengembangkan vaksin virus hidup yang dilemahkan (attenuated
live viral vaccines) mengalami hambatan karena imunogenositas yang rendah
dan kecenderungan virus untuk berubah kembali menjadi tipe liar.
Pernapasan adalah peristiwa menghirup
udara dari luar yang mengandung O2 ke dalam tubuh, serta
menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa dari oksidasi
keluar tubuh. Sistem pernafasan memiliki sistem pertahanan tersendiri dalam
melawan setiap bahan yang masuk yang dapat merusak. Di dalam makalah ini,
penulis akan membahas gangguan pada bronkiolus yang disebabkan oleh Infeksi respiratory syncitial virus (RSV) yang sering disebut dengan “Bronchiolitis.”
Tujuan
1. Untuk
mengetahui etiologi, prevalensi,
definisi, faktor resiko, patofisiologi, patofisiologi klinis & gejala,
komplikasi, dan penatalaksanaan medis & Fisioterapi dari
penyakit bronkiolitis
2. Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Patologi Kardiopulmonal
BAB II
PEMBAHASAN
Etiologi
Bronkiolitis
adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh serangan virus. Pada lebih dari 50%
kasus-kasus yang ditemukan, didapatkan bahwa organisme penyebabnya adalah virus
sinsitial pernapasan, seperti virus parainfluenza, mikoplasma, dan adenovirus. Kebanyakan
kasus bronchiolitis masa kanak-kanak disebabkan oleh respiratory syncytial
virus (RSV). Selain itu, juga dapat disebabkan oleh agen infeksi lainnya,
termasuk virus yang menyebabkan flu biasa. Beberapa infeksi, seperti kombinasi
RSV dan metapneumovirus dapat menyebabkan kasus yang parah bronchiolitis. Tidak
ada vaksin untuk bronchiolitis, yang merupakan kondisi yang menular. Virus ini
menular dengan cara yang sama seperti tertular pilek atau flu. Yaitu dengan
menyentuh benda yang terkontaminasi dan kemudian menyentuh mata mereka atau
bagian dalam hidung mereka atau mulut, atau menghirup udara tetesan lendir yang
terinfeksi atau sekresi pernapasan lainnya.
Anak-anak yang berusia lebih tua dan orang-orang dewasa lebih tahan terhadap
edema bronkiolus dari pada bayi-bayi, sehingga mereka luput memperlihatkan
gambaran klinis suatu bronkiolitis walaupun sebenarnya saluran-saluran napas
kecil-kecil mereka mengalami infeksi virus.
Prevalensi
Sebanyak 11,4 % anak berusia
dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun di AS pernah mengalami
bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus perawatan di rumah sakit
dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.
Meskipun bronchiolitis terjadi sepanjang
tahun, namun lebih sering
terjadi pada musim dingin.
Insiden puncak terjadi pada
bulan Februari. Bronchiolitis lebih
sering terjadi pada anak
laki-laki dari pada anak perempuan.
Kondisi ini lebih
sering terjadi pada bayi
yang diberi minum botol dan pada
anak-anak yang tinggal di daerah ramai,
daerah perkotaan. Beberapa studi
menunjukkan bahwa status
sosial ekonomi rendah juga
berpengaruh dan anak-anak
dalam kelompok ini dirawat
di rumah sakit lebih sering. Di seluruh dunia, tingkat
infeksi di negara maju adalah serupa
dengan yang di Amerika Serikat.
Saat ini, tidak ada cukup
data untuk menentukan bronchiolitis dinegara-negara
terbelakang, namun studi
menunjukkan bahwa gizi
buruk dan perawatan
medis sub-standar
dapat menyebabkan kondisi di
daerah-daerah. Di daerah tropis,
bronkiolitis lebih sering terjadi selama
musim hujan.
Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat
inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus) yang terjadi pada anak
< 2 tahun dengan insidens tertinggi pada usia sekitar 2-6 bulan dengan
penyebab tersering respiratory sincytial virus (RSV), diikuti dengan
parainfluenzae,
dan adenovirus. Penyakit ditandai oleh sindrom klinik yaitu, napas cepat,
retraksi dada,
dan wheezing.
Penyebabnya adalah RSV (respiratory syncytial
virus). Virus lainnya yang menyebabkan bronkiolitis adalah parainfluenza, mikoplasma, dan adenovirus. Virus ditularkan
melalui percikan ludah. Meskipun pada orang dewasa RSV hanya menyebabkan gejala
yang ringan, tetapi pada bayi bisa menyebabkan penyakit yang berat.
Faktor resiko
a.
Bayi berusia kurang dari 6 bulan.
b.
Anak-anak yang terlahir premature.
c.
Anak yang tidak memperoleh ASI
d.
Anak-anak yang memiliki kondisi
kesehatan kurang baik terutama mereka yang mengidap penyakit jantung atau paru-paru
bawaan.
e.
Anak-anak yang sistem kekebalan tubuhnya rendah, seperti sedang
menjalani kemoterapi, transplantasi, atau karena penyakit.
f.
Anak-anak yang dititipkan di tempat
penitipan atau memiliki saudara kandung yang sudah bersekolah akan memiliki
resiko lebih tinggi tertular infeksi ini.
g.
Balita yang berada pada lingkungan
yang berisiko tinggi untuk terpapar pada polusi udara dan asap rokok.
h.
Kerentanan juga akan meningkat saat
musim RSV tertinggi, yang biasanya dimulai pada musim gugur dan berakhir di musim
semi.
i.
Orang-orang dewasa berusia lanjut.
j.
Orang dewasa pengidap gagal jantung.
Patofisiologi Penyakit/Patogenesis
Virus
bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke
saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan
melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas
melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang
memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel
epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris
dan fibrin kedalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia juga
mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan
sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar
terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin,
subsfance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhimya
kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekspresi lntercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan
produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi,
bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran
nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran
napas.
Adapun
respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan
compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan
shunf. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan,
batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia,
hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena resistensi aliran
udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat tiga, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah
memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas
bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas
meningkat pada fase inspirasi maupun pada fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi
terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan
overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkathampir 2 kali di
atas normal.
Proses patologis yang terjadi akan mengganggu pertukaran gas normal di
dalam paru-paru. Ventilasi yang semakin menurun pada alveolus-alveolus akan
mengakibatkan terjadinya hipoksemia dini pada perjalanan penyakit. Retensi
karbon dioksida (hiperkapnia) biasanya tidak terjadi kecuali pada penderita-penderita
yang terserang hebat. Pada umumnya, semakin tinggi kecepatan pernapasan, maka
semakin rendah tekanan oksigen arteri. Hiperkapnia biasanya tidak dijumpai
hingga kecepatan pernapasan melebihi 60 x / menit yang kemudian meningkat
sesuai dengan takipne yang terjadi.
Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar
mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi
terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. lnfeksi yang berulang pada
saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat
infeksi yang berulang-ulang, terjadi 'cumulatif immunity' sehingga pada anak
yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi
bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
Patofisiologi Klinis dan Gejala
Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit bronkiolitis
mempunyai riwayat keberadaan mereka dibawah pengaruh anak-anak yang lebih besar
atau orang-orang dewasa yang menderita penyakit saluran pernapasan ringan pada
minggu sebelum penyakit tersebut terjadi pada mereka. Pertama kali dapat
dicatat bahwa bayi tersebut menderita suatu infeksi ringan yang mengenai
saluran pernapasan bagian atas disertai pengeluaran secret encer dari hidung
dan bersin-bersin. Gejala-gejala ini akan berlangsung selama beberapa hari dan
disertai demam 38,50 hingga 390C (101-1020F)
dan nafsu makan yang berkurang. Kemudian akan ditemukan kesukaran pernapasan
yang akan berkembang berangsur-angsur dan ditandai oleh batuk-batuk, bersin
paroksismal, dispne, dan iritabilitas.
Pemberian makanan dan minuman dengan botol akan mengalami
kesulitan karena kecepatan pernapasan yang tinggi tidak memungkinkan penderita
tersebut menghisab dan menelan. Pada kasus-kasus ringan, gejala-gejala akan
menghilang dalam waktu 1-3 hari. Kadang-kadang, pada penderita-penderita yang
terserang lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang hanya dalam beberapa jam
serta perjalanan penyakitnya berlangsung berkepanjangan. Gejala-gejala
sistematis lain seperti muntah-muntah dan diare biasanya tidak didapatkan pada
para penderita. Pada umumnya bayi tersebut tidak demam atau mengalami demam
ringan saja atau bahkan dapat menjadi hipotermis.
Pemeriksaan akan memperlihatkan seorang bayi seringkali
dalam kesulitan luar biasa. Kecepatan pernapasan berkisar dari 60-80
kali/menit. Dapat dijumpai kehausan udara dan sianosis berat. Terdapat
pelebaran cuping hidung dan penggunaan otot-otot pembantu pernapasan yang
mengakibatkan terjadinya retraksi-retraksi interkostal dan daerah sub-kostal.
Retraksi-retraksi tersebut hanya berlangsung dangkal akibat dari pengembangan
paru terus-menerus oleh udara yang terperangkap. Hati dan limpa dapat teraba
beberapa cm dibawah tepi batas bawah tulang iga. Keadaan ini terjadi akibat
dari penurunan diafragma yang tertekan kebawah oleh paru-paru yang terisi secara
berlebihan. Suara-suara riak halus yang tersebar luas dapat tedengar pada
bagian akhir inspirasi dan awal ekspirasi. Fase ekspirasi pernapasan akan
memanjang dan suara pernapasan akan berbunyi dan biasanya akan terdengar. Pada
kasus-kasus berat, suara-suara pernapasan hampir-hampir tidak terdengar, jika
obstruksi bronkiolus tersebut hampir total.
Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi
saluran napas bagian atas, disertai dengan batuk pilek untuk beberapa hari,
biasanya tanpa disertai kenaikan suhu. Anak mulai mengalami sesak napas, makin
lama makin hebat, pernapasan dangkal dan cepat dan disertai dengan serangan
batuk. Terlihat juga pernapasan cuping hidung disertai retraksi interkostal
suprasternal, anak gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan terdapat suara
perkusi hipersonor, ekspirium memanjang disertai dengan mengi (‘wheezing’).
Ronki nyaring halus kadang-kadang terdengar pada
akhir ekspirasi atau pada permulaan ekspirasi. Pada keadaan yang berat sekali,
suara pernapasan hampir tidak terdengar karena kemungkinan obstruksi hampir
total. Foto roentgen toraks menunkjukkan paru-paru dalam keadaan hipererasi dan
diameter antero-posterior membesar pada foto lateral. Pada sepertiga dari
penderita ditemukan bercak-bercak konsolidasi tersebar disebabkan atelektasis
atau radang. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi dalam
batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis respiratorik maupun
metabolik. Usapan nasofaring menunjukkan flora bakteri normal.
Tanda-tanda dan gejala-gejala infeksi RSV biasanya kelihatan pada
empat hingga enam hari setelah terjadi paparan terhadap infeksi virus. Pada
orang dewasa dan anak-anak yang berusia lebih dari 3 tahun, RSV biasanya
menyebabkan terjadinya tanda-tanda seperti selesma ringan dan gejala yang mirip
dengan gejala yang ada pada infeksi saluran pernapasan atas. Tanda-tanda ini adalah
:
·
Hidung mampet atau
berlendir
·
Batuk kering
·
Demam dengan suhu yang
tidak terlalu tinggi
·
Sakit leher
·
Sakit kepala ringan
·
Rasa tidak nyaman dan
gelisah (malaise)
Pada anak-anak berusia kurang lebih dari 3 tahun,
RSV dapat menyebabkan timbulnya penyakit pada saluran pernapasan bagian bawah
seperti radang paru atau bronchiolitis-peradangan pada saluran udara yang
kecil-kecil pada paru-paru. Gejala dan tanda-tandanya adalah :
·
Demam dengan suhu
tinggi
·
Batuk yang parah
·
Tersengal-sengal, ada suara ngik yang biasanya terdengar saat
menghembuskan napas
·
Napasnya cepat atau
sulit untuk bernapas, yang mungkin akan menyebabkan anak lebih memilih untuk
duduk daripada berbaring
·
Warna kebiruan pada
kulit yang disebabkan oleh kekurangan oksigen
Akibat paling parah akibat infeksi RSV akan diderita
oleh bayi dan balita. Pada bayi dan balita yang menderita infeksi RSV, tanda-tandanya
akan terlihat jelas saat mereka menarik otot dada dan kulit di sekitar tulang
iga, yang menandakan bahwa mereka mengalami kesulitan bernapas, dan napas
mereka mungkin pendek, dangkal dan cepat. Atau mereka mungkin tidak menunjukkan
adanya infeksi saluran napas, tapi mereka tidak mau makan dan biasanya lemas
dan rewel.
Kebanyakan anak-anak dan orang dewasa akan membaik
dalam delapan hingga 15 hari. Tapi pada bayi-bayi yang usianya masih sangat
muda, bayi yang terlahir premature, atau bayi atau orang dewasa yang memiliki
masalah pada jantung dan paru-paru , virus ini akan menyebabkan infeksi
lebih berat, seringkali
mengancam keselamatan jiwa yang membutuhkan perawatan
di rumah sakit.
Diagnosis banding dari penyakit bronkiolitis sebagai
berikut:
a.
Asma Bronkiale,
penyakit ini merupaka diagnosis banding yang terpenting. 10-30% penderita
bronkiolitis akhirnya menjadi asma.
b.
Penyakit Asma
Bronchial, penyakit ini jarang dialami oleh anak usia < 1 thn. Didapatkan
riwayat alergi dalam keluarga. Serangan berulang-ulang dan timbul sesak
mendadak mungkin tanpa dilalui ISPA. Dapat membaik dengan suntikan adrenalin.
c.
Limfositosis,
leukosit kira-kira 2 minggu sakit dan jantungnya mengalami kelemahan.
d.
Sukar dibedakan
dengan bronkiolitis yang berat.
Komplikasi
Ada beberapa komplikasi bronchitis
yang berpotensi dijumpai pada pasien, antara lain :
a.
Sianosis,
tampak biru
atau pucat terutama pada
bibir yang disebabkan oleh kekurangan
oksigen
b.
Dehidrasi,
ketika kadar air normal
tubuh berkurang
c.
Kelelahan,
kelelahan ekstrim dan kekurangan
energi
d.
Kegagalan
pernafasan yang parah, ketidakmampuan
untuk bernapas tanpa
bantuan.
e.
Apnea, jedah
panjang dalam bernapas
Penatalaksanaan medis dan Fisioterapi
Bayi-bayi dengan kesukaran pernapasan harus dirawat dirumah sakit tetapi
hanya pengobatan penunjang yang memiliki indikasi yang diberikan. Menempatkan
penderita didalam ruangan mengandung oksigen dingin yang dilembabkan merupakan
tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi hipoksemia dan mengurangi
kehilangan air insensibilitas. Tindakan demikian juga dapat meredakan kecemasan
serta kegelisahan penderita. Harus dihindarkan pemberian obat-obatan sedative karena
kemampuan penekanan pernapasan yang dimilki. Jika obat sedative harus
diberikan, lebih baik mempergunakan perildehida atau kloralhidrat. Bayi-bayi
tersebut akan merasa lesbih nyaman untuk duduk dengan posisi kemiringan 30-400
atau dengan kepala dan dada yang sedikit ditinggikan sedemikian rupa sehingga
lehernya berada pada posisi ekstensi.
Karena bronkiolitis akut merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh
virus, maka antibiotika-antibiotika tidak mempunyai nilai terapetis pada
penyakit ini kecuali jika pada penderita terdapat pneumonia bakteri sekunder. Pemberian
kartikosteroid tidak terbukti tidak bermanfaat pada bronkiolitis bahkan pada
keadaan-keadaan tertentu membahayakan penderita. Sebaliknya, pemberian
kartikosteroid pada penderita-penderita bronkiolitis adenovirus berat dimana
akibat-akibat sisa jangka panjang lebih mungkin terajadi, belum pernah
dilakukan penilaian tentang hasil pemberian tersebut. Terdapat kontra indikasi
pemberian obat-obat bronkodilator karena akan menyebabkan peningkatan
kegelisahan dan curah jantung. Epinefrin atau obat-obat alfa-adrenergik
lainnya, walaupun mempunyai landasan teoritis untuk digunakan,belum pernah
diuji secara memadai. Karena obstruksi yang terjadi pada tingkat bronkiolus,
maka suatu trakeostami tidak akan bermanfaat dan mengandung bahaya yang cukup
besar yang tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan pada bayi-bayi yang sakit
akut. Kadang-kadang terdapat penderita yang dengan cepat yang dapat berkembang
menuju kegagalan pernapasan sehingga membutuhkan bantuan ventilasi.
Pada tindakan perawatan yang penting ialah mengontrol batuk dan
mengeluarkan lendir. Caranya yaitu dengan cara berjemur dipagi hari, sering
mengubah posisi, banyak minum, dan terapi inhalasi (Nebulizer). Untuk
mempertahankan daya tahan tubuh, setelah anak muntah dan tenang perlu diberikan
minum susu dan makanan lain.
Nebulisasi merupakan bagian dari terapi inhalasi, terapi ini memberikan
obat secara langsung pada saluran nafas melalui hirupan uap. Tindakan ini aman
karena bekerja langsung pada target yang dituju yaitu saluran nafas. Cara kerja
obat tersebut cepat dengan dosis minimal sehingga konsentrasi obat dalam darah
sedikit dan tentunya efek samping oba tpun menjadi minimal. Pemilihan terapi
ini tentunya sesuai indikasi dan keberhasilannya dipengaruhi oleh pemilihan
jenis obat dan teknik pemberiannya. Nebulizer lebih sering dipilih untuk anak
usia pra sekolah karena tidak memerlukan banyak koordinasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Bronkiolitis adalah infeksi
saluran pernafasan bawah yang ditandai dengan adanya
inflamasi pada bronkiolus. Penyakit ini sering di derita bayi dan anak
kecil yang berumur kurang dari 2 tahun. Bronkiolitis sebagian besar disebabkan oleh Respiratory syncytial virus (RSV), penyebab lainnya adalah
parainfluenza virus, Eaton agent
(mycoplasma pneumoniae), adenovirus dan beberapa virus lainnya. tetapi belum ada bukti kuat bahwa bronkhiolitis
disebabkan oleh bakteri. Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratory tersering pada bayi.
Paling sering terjadi pada usia 2 – 24 bulan, puncaknya pada usia 2 – 8 bulan.
Sebanyak 11,4 % anak berusia dibawah 1 tahun dan 6 % anak berusia 1 – 2 tahun
di AS pernah mengalami bronkhiolitis. Penyakit ini menyebabkan 90.000 kasus
perawatan di rumah sakit dan menyebabkan 4500 kematian setiap tahunnya.
Faktor resiko
terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi
rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat
penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi
maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu.
Pada tindakan perawatan yang penting ialah mengontrol batuk dan
mengeluarkan lendir. Caranya yaitu dengan cara berjemur dipagi hari, sering
mengubah posisi, banyak minum, dan terapi inhalasi (Nebulizer). Untuk
mempertahankan daya tahan tubuh, setelah anak muntah dan tenang perlu diberikan
minum susu dan makanan lain.
Saran
Karena
dalam pembuatan makalah ini masih memiliki banyak kekurangan maka kami
mengharapkan banyak kritik dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Speer,Kathleen Morgan.2002.Rencana Asuhan Keperawatan
Pediatrik dengan Clinical Pathway Ed.3. Jakarta : EGC
Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Denpasar : RSUP Sanglah
Denpasar
Tarwoto & Wartonah.2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan
Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Makalah Referat Kedokteran. 2006.Referat Bronchiolitis.
Department of Pediatric Medical Faculty. Bandung
Behrman,Richard E. & Vaughan Victor C.1992.Ilmu
Kesehatan Anak Ed.12.Jakarta : EGC
Setiawati,Landia & Asih,Retno.2005.Ilmu Kesehatan
Anak XXXV Tata Laksana Bronkiolitis.Surabaya
Tierney,Lawrence M. & Mcphee,Stephen J. &
Papadakis,Maxine A, 2002.Diagnosis dan Terapi Kedokteran Ilmu Penyakit
Dalam.Jakarta : Salemba Medika
Underwood,J.C.E.1999.Patologi Umum dan Sistematik Ed
2.Jakarta : EGC
Chang,Esther & Daly,Jhon &
Elliott,Doug.2009.Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan.Jakarta : EGC
Dokter
Andrie. (2012). “Bronkiolitis.”
dokterandrie.blogspot.com/2012/02/bronkiolitis.html (diakses tanggal 19
September 2014)